Alternate Universe (AU), Fanfiction, Fantasy, Friendship, Multi Chapter, Sad

The Dance of Storms – 10

tdots

Credit: Art by Song17 (Zahra)

Bab X

Indecision

You know nothing, Evan my sweet little brother Jared Stormborn.

Main Cast:

Evan Stormborn | Arryn Whitesides | Evita Dain

Jared Stormborn | Aryanda Whitesides | Sebastian Dain

Previously:

[The Treason]

Evan has been warned. No matter what he did, it would bring a disaster. In the other side, Evita and Aryanda got attacked by unwanted enemies. And we had Arryn who felt under pressure day by day.

Evan menemui Arryn yang berjaga di depan pintu kedai makan di mana pertemuannya dengan Aahana berlangsung. Simon juga ada di sana. Pemuda itu memakai tunik kelabu dan celana panjang gelap sampai mata kaki. Di pinggangnya tersarung pedang, yang menurut Arryn, adalah buatannya sendiri. Netra sang pangeran menyipit melihat air muka siaga dari keduanya. Fokus Arryn tertuju pada pintu hampa di belakang Evan.

“Di mana dia?” tanya Arryn, waspada.

Evan menoleh dengan kuyu. “Pergi.”

“Kau melepaskannya begitu saja?”

“Aku tak punya bukti,” jawaban Evan lirih. Ia mengimbuhkan, “kalian boleh mengerjakan tugas lain. Aku ingin… sendiri.”

Langkah lebar dibuat Evan sebelum Arryn sempat memanggil nama sahabat sekaligus junjungannya itu. Jubahnya melambai di belakangnya. Simon bertukar pandang dengan Arryn seolah sama-sama merasa tidak beres dengan reaksi sang pangeran.

Arryn kembali melongok ke dalam tempat Evan muncul tadi. Tak ada tanda-tanda penyihir itu tertinggal di sana. Dia pasti lewat pintu lain! Bukan berarti Arryn marah karena Evan malah melepaskan Aahana, tapi gelagat Evan jelas sangat aneh. Apa dia terkena sihir?

Hari-hari Evan belum pernah sekelam ini. Robohnya raja di malam festival bulan hanya awal dari segala keruwetan yang terjadi. Mendung menggelayut pekat di atas kepalanya. Belaian angin membuatnya semakin menggigil setelah mendengar penjelasan dari Aahana. Bagaimana bisa ia kebal sihir dan menjadi titisan kakek buyutnya sebagai Yang Terikat? Evan beranggapan itu konyol, namun hati kecilnya berkata dwimanik milik Aahana menampilkan kejujuran. Kejujuran yang tragis.

Kami menari dan kau menabuh musiknya? Sinting!

Bukan hanya Aahana yang menabuh musik untuk mengiringi tarian mereka. Wanita itu bilang ada empat ahli sihir lain, termasuk adik Arryn. Jadi, dia tahu… Pantas saja, dia terlihat mengetahui segala-galanya bahkan terkesan menuntun kami.

Tapi, Evan meragukan pengetahuan Arryn tentang ini. Sahabatnya tidak akan berbohong. Bahkan, ia tak berbohong tentang perasaannya pada Vi meski aku juga menyukai Vi. Arryn adalah satu-satunya orang tersisa yang bisa Evan andalkan selain Evita. Namun, gadis itu puluhan mil jauhnya bersama salah seorang sutradara tarian mereka.

Dilema melanda sang pangeran muda. Bagaimana aku harus memberitahu Ary soal ini? Apa dia akan mendukung adiknya atau aku? Memasuki pekarangan Storm Palace, gerimis mulai turun. Evan mempercepat langkahnya dalam pikiran penuh tanda tanya.

Merasa telah aman di bawah atap istananya, Evan menyibak tudung jubah penutup rambutnya. Ia bergegas menuju kamar sebelum beralih tujuan ke perpustakaan untuk menemui Guru Luwin. Seorang squire berpapasan dengannya dan mengangsurkan gulungan kecil. Tertulis di dalamnya sebuah pesan singkat bahwa raja telah berhasil dipindahkan ke ruangan terdalam Kuil Agung. Bagus, setidaknya tidak ada huru-hara akibat peristiwa ini.

O, Evan salah. Petaka lain menunggu dibalik pintu ruangan pribadinya. Jared duduk di sana, memunggungi pintu masuk dan menatap jauh ke cakrawala lewat jendela yang menyajikan hujan lebat di luarnya. Tangannya terkepal di balik punggung. Ia berbalik begitu mendengar daun pintu dibuka oleh orang yang ditunggu-tunggu.

“Aku minta izin untuk menjenguk ayah,” katanya dingin, lebih terdengar sarkastik ketimbang meminta izin. “Aku tak percaya harus meminta izin darimu dulu, Adik,” sambungnya.

Evan menelan ludah. Ada dua perkiraan; Jared sedang mengetes keadaan atau ia benar-benar tidak tahu kalau ayah mereka sudah dipindahkan. Iris mata birunya menatap setajam bilah pedang. Evan memang masih memerintahkan anak buah Edd berjaga di pintu kamar ayahnya sebagai kamuflase.

“Ayah butuh istirahat. Aku tidak mengizinkanmu,” tolak Evan. Ia sungguh berharap suaranya tak bergetar.

Jared menyeringai tipis. Menurut Evan itu pertanda buruk. He knows.

When will you show some respect to your brother, Ev?”

After all that you’ve done? I guess… on your dream,” Evan melepas jubah dan menyampirkan baju luar itu pada gantungan baju. Berharap Jared akan segera puas dan meninggalkannya sendiri.

“Kau pikir aku tak tahu?!” raung Jared tiba-tiba.

Meskipun sudah menduganya, Evan tetap tersentak mendengar kakaknya membentak. Ia menoleh, mendapati wajah Jared menggelap dan mendengar guntur menggelegar di luar sana. Apa itu salah satu peranti untuk mengiringi tarian kami?

Siapa yang memberitahumu?” tanya Evan. Ia sudah bersumpah untuk menghukum siapa saja pembocor kabar pemindahan ayahnya.

“Kau pikir siapa yang berkuasa di bawah atap ini setelah Ayah?!” Jared lagi-lagi membentak. “Mereka semua anak buahku, bukan kau yang memimpin di sini!”

“Ah, ya, maaf kadang aku lupa soal itu. Kau sudah tahu, jadi sekarang kau tak bisa mengunjunginya lagi. Silakan keluar dari kamarku,” pinta Evan dengan sopan. Beri dia mulut yang manis supaya cepat enyah dari sini.

“Kuperingatkan kau, Ev—“

“—kau boleh menghukumku kapan pun kau mau,” potong Evan cepat-cepat, “tapi aku juga bisa melakukan hal yang sama. Ingat, sebelum ibu pergi, dia memberiku plakat kerajaannya. Jadi, kau mau kita saling menghukum?”

Jared menggertakkan gigi-giginya. Seluruh urat di wajahnya menegang dan Evan tak suka itu. Jared terlihat mengerikan seperti Theron yang terbangun dari tidurnya, meski Evan tak tahu pasti seganas apa naga sialan itu. “Cukup, Ev! Cepat pergi dari Istana! Tunjukkan dirimu berguna dengan menemukan obat itu atau akan kuledakkan Kuil Agung supaya kau menurutiku!” ancamnya.

“O, kau tak akan berani, Kakak—“

“—tentu saja aku berani!” Kali ini giliran Jared yang memotongnya. “Kau pikir kau tahu segalanya? You know nothing, Evan my sweet little brother. Aku sudah mempersiapkan segala hal dari jauh-jauh hari. Sekarang menyelamatkanmu tak ada dalam agendaku. Pergi dan cari jantung biru untukku atau Kuil Agung menjadi abu!” pungkas Jared.

Sang pangeran muda membeku. Bahkan saat sang kakak membanting pintu kamarnya, Evan tetap bergeming di sana. Salah… dia salah jalan. Kenapa semua ini malah memudahkan Jared? Sial, sial sial!

Jangan bereaksi berlebihan,” bisik Aryanda lirih di dekat telinganya. Evita perlu menyesuaikan fokus matanya dengan keadaan di sekelilingnya. Sudah berapa lama mereka di sini? Hawa di dalam gua amat lembab. Bilah-bilah cahaya tipis menyoroti keberadaan mereka dari mulut gua. Bekas api unggun di depan mereka menyisakkan gundukan abu jelaga.

Dia berbaring di atas alas miliknya. Kepalanya pening saat ia kembali mengerjapkan mata dan mengedarkan pandangan lemahnya ke seluruh penjuru gua.

Gua itu penuh stalaktit dan stalagmit di bagian lebih dalam. Air menetesi ujung-ujungnya yang runcing, menimbulkan bunyi ‘clak’ pelan. Evita tak melihat dua pengawal istana selain Aryanda yang terlihat kusut dalam cahaya remang-remang.

“Di mana kita?”

“Gua. Tepatnya di Ravenwood,” jawab Aryanda. Ia membantu Evita untuk duduk dan menyodorkan segelas air. “Minum ini. Kau tidak sadarkan diri selama tiga hari. Apa kau lapar?”

“Di mana mereka?” tanya Evita lagi. Minum membuat tenggorokannya nyeri. Ia benci menjadi lemah seperti ini. “Apa yang terjadi pada kita? Mata-mata itu…”

“Greg dan Will sedang memantau keadaan di luar gua supaya kita bisa keluar dari sini dengan aman. Mata-mata itu serigala, Vi. Banyak sekali…” Aryanda bergidik di sela-sela ceritanya, “Mereka pergi setelah beberapa orang suku liar menghampiri kita,” terang Aryanda.

“Se-serigala? Suku apa? Ada tanda-tanda dari Bas?”

“Suku Gagak Selatan. Mungkin sihirku tak berhasil menyembunyikan kita dari para serigala, tapi orang-orang itu langsung teler begitu aku membaca mantra. Untung jumlah mereka sedikit dan kedua pengawal kita tidak panik. Tanda dari Bas? Tidak ada,” tutup Aryanda. Gadis itu menepuk-nepuk tas berisi perbekalan mereka yang tersisa separuh. “Kita harus segera keluar dari sini sebelum makanan kita benar-benar habis.”

Evita menerima sobekan roti dari tangan Aryanda dengan enggan. Semua kesusahan ini terjadi karena ia terlalu egois untuk menemukan Bas. Mungkin Arya benar. Mereka seharusnya fokus untuk mendapatkan penawar itu terlebih dahulu. Bas bisa dilacak kapan saja dan kalau mereka beruntung, mungkin Bas sudah ada di Utara saat mereka sampai.

“Bala bantuan akan segera datang. Kuharap mereka cepat bertindak. Peri-peri tidak mandi di sembarang waktu,” celetuk Aryanda.

Evita tahu apa maksudnya. “Kau menghubungi Ary?”

Well, aku tak punya pilihan lain. Ary bilang mereka akan segera menyusul setelah Jared pulang.”

“Kalaupun mereka menyusul, kita tak akan mengambil jalur yang sama,” kata Evita mengingatkan.

“Tapi, kita bisa bertukar rekan,” sahut Aryanda.

Isi gelas Evita sudah tandas. Ia meletakkan benda itu dengan heran. “Apa maksudmu dengan bertukar rekan?”

“Kurasa kau akan lebih aman bersama Ary. Serigala mencium sesuatu dariku,” Saat mengatakannya, Arya tak sedikitpun menatap Evita. Ia terlihat putus asa dan gelisah.

Dalam kegelapan Evita bisa melihat kalau Arya berbeda dari biasanya. Meski senang mendengar gagasan untuk bertemu dengan Arryn, Evita tetap tak mengerti. “Mencium apa? Bagaimana aku melacak Bas kalau kau tidak bersamaku, Arya?”

“Aku tak mau membahasnya sekarang. Lagipula kau pasti lebih menuruti kata-kata Arryn,” pungkas Aryanda. Ia berdiri dan menghampiri mulut gua.

Evita Dain membeku. Tidak ada bantahan lain darinya. Matanya mulai berair. Bas tidak ketemu dan Arya kecewa padanya. Tidak, aku tak boleh menangis! Aku tak boleh jadi gadis lemah!

Dua hari berikutnya. Mereka berempat siap melanjutkan perjalanan. Evita sudah dirasa sehat dan Will menyarankan lebih cepat mereka pergi akan lebih baik. Mereka melewati malam-malam suram. Hujan terus-terusan mengguyur di malam hari. Meksipun bersyukur karena bisa menghalau cahaya api unggun mereka, keempatnya tetap merasa kaku dan kedinginan. Tidak ada tanda-tanda suku liar menghampiri gua persembunyian mereka dan itu bagus. Setidaknya sampai saat ini.

Evita bersyukur Zefir tetap sehat bugar. Kudanya meringkik pelan saat sang tuan membelai surainya. Matahari bersinar malas di balik awan yang menaungi tanah pijakan mereka. Ravenwood jelas berbeda dengan Westwood. Di sini terlalu banyak pohon-pohon dengan akar menyembul dari tanah, pepohonan ek, pinus dan tumbuhan tinggi lainnya yang penuh sulur. Tempat ini sudah terlihat mencekam bahkan di siang hari.

Will menghampirinya sambil menyerahkan busur panah milik Evita. “Saya mengoleskan beeswax semalam, My Lady. Semoga Anda berkenan. Kita butuh senjata ini sewaktu-waktu,” katanya sopan.

“Terima kasih, Will. Apa kau terluka?”

Wajah lelah Will merona saat Evita bertanya. Pemuda itu menggeleng. “Tidak, My Lady. Tapi… ada yang ingin saya tanyakan. Kalau Anda mengizinkan.”

“Apa itu?”

Will menoleh ke sekelilingnya kemudian mendekat. “Apa… apa Lady Whitesides seorang ahli sihir?”

“Kurasa kau sudah melihatnya sendiri, Will,” Evita mengikat pelana pada punggung Zefir.

Pemuda itu mengangguk gugup. Tangannya terlihat gelisah di sebelah tubuh. “Y-ya, My Lady. Mengejutkan.”

Mengejutkan bukan kata yang asing bagi rungu Evita sekarang. Seolah tak ada yang lebih teror dibandingkan kakak kandungnya yang berubah menjadi werewolf di depan matanya sendiri. “Aryanda gadis yang baik, Will. Itu anugrah istimewa baginya untuk membantuku,” Evita berusaha menghibur.

Will menatapnya sekilas. “Ya, My Lady. Saya hanya terkejut. Anda siap melanjutkan perjalanan?”

“Ya. Kau tahu kemana kita harus bergerak supaya bisa keluar dari sini?”

Telunjuk Will terarah ke langit. “Matahari bisa membantu kita, My Lady. Kita akan baik-baik saja jika para dewa berbaik hati mencerahkan perjalanan kita. Sebelum senja datang, kita harus menemukan gua yang baru.”

Evita berpikir sejenak. “Apa tidak sebaiknya kita kembali ke awal saja? Kurasa memutar lebih baik, meskipun akan lebih lama lagi,” usulnya.

“Kita tetap butuh mentari supaya bisa mengarah ke selatan,” sela Aryanda. Gadis itu muncul di belakang mereka. “Kau yakin kita akan memutar?”

“Jika itu lebih aman,” sahut Evita.

“Baiklah, kita memutar. Kurasa kita tidak masuk terlalu jauh. Jalanan hutan ini jelas tidak cocok untuk kuda. Dan kita akan bertemu kakakku di Kuhlbert,” ujar Aryanda.

“Kuhlbert?” Arya sudah menghubungi Ary lagi.

“Ya. Kalau kita memutar sekarang, semuanya bisa tepat waktu,” jawab Arya.

Will setuju. Ia menghampiri Greg yang sedang mengikat perbekalan pada kudanya.

“Vi, aku minta satu hal padamu sebelum bertukar rekan,” Aryanda mengatakannya setelah Will menjauh. Mimiknya terlihat serius. “Aku tak akan melacak Bas sebelum jantung biru kita dapatkan. Apalagi melacaknya di depan kakakku dengan darahmu. Aku tidak mau,” katanya tegas.

Evita menatap tanah basah di ujung sepatunya. Ia mengangguk lemah. “Apa pun permintaanmu, Arya.”

Tangan Aryanda meraih milik Evita. “Aku tidak marah padamu. Kau menyayanginya seperti aku menyayangi Ary. Aku hanya tak mau kau terluka.”

Evita mengangguk. Lalu matanya terbeliak lebar dengan pemandangan dibalik punggung rekannya. Aryanda menoleh dan mendapati beberapa pria berdandan liar dengan berbagai senjata melekat di tubuh mereka. Total ada empat orang. Dua yang bertubuh tinggi kekar masih muda, mungkin seumuran Aryanda. Satu bertubuh gempal terlihat lebih muda dan yang satu sepertinya setengah kerdil. Evita tak tahu pasti berapa kisaran usianya. Wajah mereka penuh coretan hitam. Kulit mereka berwarna cokelat. Kecuali yang gempal terlihat lebih terang. Terdapat lambang seperti burung elang dilukis di atas baju kulit mereka pada dada sebelah kiri. Bagian terburuknya, mereka pasti suku liar tak bertuan.

Salah satu si kekar melangkah mendekat. Ada bekas luka memanjang di pipi kirinya. Rambut panjangnya diikat dan dipilin di atas puncak kepala. Di tangannya terayun pedang panjang. Senyumnya eksentrik. Ganjilnya, giginya terlihat putih dan bersih. “Nah,” katanya dengan suara berat, “kita punya penyusup berharta di sini.”

Baik Greg dan Will sudah menghunus pedang mereka. Sayangnya, Will hanya memberi Evita busur. Anak panah miliknya ada di dalam gua.

                                                                                                          –

Aku tak mengerti kenapa Evan melepaskannya begitu saja!” Arryn masih uring-uringan, bahkan saat ia dan Simon sudah berada di istal Storm Palace.

“Yang Mulia benar, My Lord. Kita tak punya bukti,” Siwon menimpalinya. Kalimat yang sama untuk kesekian kali.

Arryn Whitesides menggeram rendah. Pasti ada yang tidak beres. Apa yang dikatakan wanita itu pada Evan? Pemuda itu memasang pelana pada Gale. Ia bermaksud untuk pulang saat Simon memberi hormat pada seseorang di belakang punggungnya. Arryn mengira itu Evan, tapi ia keliru. Saat pemuda itu menoleh, Jared berdiri di ambang pintu istal. Jubah bagian atasnya separuh basah. Raut wajahnya hampir segelap mendung di luar sana. Arryn sungguh berharap ekspresi itu akibat dari penerangan istal yang redup.

Your Grace,” Arryn memberi hormat dengan khidmat. Jared melangkah masuk dan menyuruh Simon meninggalkan mereka berdua.

“Apa yang kaukeluhkan?” tanya sang pangeran.

Arryn mengerjap kaget. Apa suaranya terlalu keras? “Saya… tidak ada, Yang Mulia,” jawabnya sopan.

“Benarkah? Wajahmu terlihat lelah, prajurit,” sindir Jared. Arryn enggan menyahut. “Aku tahu kau sangat loyal pada adikku. Tapi, boleh kutanya satu hal?”

“Silakan, Yang Mulia.” Jauh di dalam lubuk hati Arryn, perasaannya mulai tak enak.

“Apa yang rela kau korbankan untuk Evan? Kau belum disumpah dan belum diurapi. Agak aneh melihat kau begitu lengket dengan adikku.”

Arryn menegang. “Saya sahabatnya, Yang Mulia. Saya akan membantunya semampu saya.”

“Nyawa sekalipun?”

“Nyawa sekalipun.” Kali ini Arryn menatap mata biru sang pangeran. Mata naga, Evan pernah menyebutnya. Jared itu penuh siasat licik dan matanya punya aura jahat kalau kau bisa melihatnya lebih dalam, kata Evan. Sekarang Arryn percaya ucapan sahabatnya. Kalau Jared berusaha memecah belah mereka, Arryn tak akan membiaran itu.

“Bagus,” Jared tersenyum lebar, “Aku tak perlu khawatir lagi.”

“Ma-maaf, Yang Mulia?”

“Kenapa? Kau kaget kalau aku mengkhawatirkan adikku? Oh, please… sebandel apa pun Evan, kami saudara sedarah. Dia merupakan pewaris setelah aku,” ujar Jared.

Entah hanya firasat Arryn atau memang Jared terlihat sedih saat mengucapkannya. Sang pangeran terdiam cukup lama sambil mengelus surai Gale. “Aku tahu apa yang akan kalian cari,” kata Jared, “Aku menyuruhnya segera pergi sebagai hukuman atas ketidakpatuhannya padaku. Kurasa Evan perlu mencari jati dirinya di luar sana. Tolong bawa dia pulang dengan selamat,” Jared kembali mengenakan tudungnya, bersiap untuk pergi.

Arryn menatap sang pangeran lekat-lekat. “Saya akan berusaha menjaganya meski Anda tidak memintanya, Yang Mulia,” katanya.

Well, aku hanya berjaga-jaga. Karena aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika gadis itu memilih salah satu di antara kalian,” ujar Jared.

Adalah salah Arryn saat ia sempat bersimpati pada Jared. Kalimat setelahnya membuat Arryn menegang. Dia tahu soal Vi? O, sebanyak apa yang dia tahu? Tangannya mulai mengepal dan kesal kalau teringat Evan melepas Aahana begitu saja. Pasti wanita itu yang mengisiki Jared. Sialan!

Jared tersenyum miring sebelum berbalik pergi. Ia berucap lagi, “Aku sungguh-sungguh, Whitesides. Kau harus membawanya pulang dengan selamat atau aku akan menghukummu.” Jubahnya terseret saat sang pangeran menembus deraian hujan.

Cermin kecil itu bergetar di atas meja. Sinar tipis mulai muncul melewati kacanya. Lama kelamaan semakin terang dan bias cahayanya memenuhi hampir seluruh kamar Arryn. Pemuda itu meraihnya dengan gesit. Selama sekian detak jantung, wajah yang dikenalnya muncul. Mulanya samar kemudian semakin jelas.

“Maaf menghubungimu lagi, kakak,” Aryanda menyapanya dengan wajah sayu.

“Tidak masalah. Malah aku ingin kau menghubungiku setiap hari. Kalian baik-baik saja? Di mana kalian?” Arryn bertanya dengan was-was. Terakhir kali Arya menghubunginya, kabar buruk yang ia sampaikan. Untunglah mereka berhasil lolos dari para penjahat itu. (Arya tidak bercerita soal serigala pada Ary)

“Kami baik-baik saja dan masih di sini. Tempat terakhir aku menghubungimu. Rencananya kami akan kembali melanjutkan perjalanan. Evita sudah baikan—tidak, aku tidak mau kau bicara dengannya,” tegas Aryanda saat melihat Arryn ingin menyela.

“Kenapa?”

“Belum saatnya. Dia masih rapuh. Kuharap kalian akan segera bergerak. Jika Evita bisa kuyakinkan untuk berputar arah, kita harus bertemu di Kuhlbert,” ujar Aryanda.

Arryn memasang muka ragu. “Ada apa sebenarnya, Arya?”

“Ravenwood tidak aman, ‘kan?”

“Bukan itu. Kau terlihat cemas. Apa Evita sakit parah?”

She’s fine, Ary. Bisa kupastikan. Dia agak keras kepala dan nasihatku sama sekali tidak manjur. Aku takut ini ada hubungannya dengan jarak mereka yang semakin dekat. Sakitnya Vi sepertinya berhubungan dengan Bas. Kita bahas rencana selanjutnya di Kuhlbert. Suruh Evan bergegas.”

Arryn menghembuskan napas panjang. “Kami punya masalah di sini.”

“Apa itu?”

“Soal… lupakan. Kita bahas saat bertemu saja,” Arryn memutuskan. Adiknya sudah kesulitan dengan perjalanan mereka, Arryn tak mau menambah beban pikiran Arya dengan bertanya soal penyihir.

“Eum, baiklah. Kuharap kalian cepat menyusul. Hati-hati, Ary. Kita akan segera bertemu. Sampai jumpa lagi,” Aryanda menutup koneksi. Sinar dalam cermin meredup dan paras ayunya menghilang.

Arryn meletakkan kembali cermin kecilnya di atas meja. Carut-marut dalam pikirannya membuat tubuhnya lelah. Ia berbaring, menatap langit-langit kamarnya. Pesan dari Jared bukan permintaan melainkan tuntutan. Kalau raja tidka berhasil selamat, maka Jared otomatis akan naik takhta dan semua ucapannya adalah titah kerajaan. Terlintas di benak Arryn kalau Evan harus segera menarik sumpahnya. Namun, melihat kondisi temannya itu Arryn tidak yakin.

Evan tidak pernah segoyah tadi. Mata hijaunya terlihat putus asa dan kecewa. Andai Arryn bisa menerawang atau membaca pikiran. Kenapa aku tak punya kemampuan spesial seperti Arya selain hanya untuk mengenali ahli sihir?

Dan bagian terberat bagi fisik dan mental Arryn adalah Evita. Ia sangat merindukan gadis itu. Kenapa Arya menghalangi keinginanku untuk melihat Eve?

Jared berdiri di depan pintu utama kuil agung. Mengamati pintu tinggi bersepuh emas. Kemudian ia melangkah masuk. Aroma harum dari banyaknya lilin di dalam kuil menyapa indra penciumannya. Langkahnya mantap menuju aula. Ada sekitar tiga septon berada di sana dan memberinya hormat. Sang pangeran arogan hanya mengangguk.

Di dalam sini. Bagaimana caranya? Ia bertanya pada diri sendiri. Jelas ia tak bisa merangsek masuk dan mengobrak abrik seisi kuil untuk menemui raja. Para septon dan septa akan curiga dengan tidak sejalannya keputusan pemindahan raja. Meskipun Jared meragukan kalau orang-orang ini tak tahu apa-apa.

Dia cerdas, tapi ceroboh. Belum pandai berpolitik.

Seorang pria berkepala botak menuruni undakan di samping altar lantas menghampiri Jared. Dalam balutan jubah putih panjang dan tanpa mengenakan alas kaki, ia membungkuk hormat pada sang pangeran. “Your Grace,” katanya.

“Ayahku baik-baik saja?” tanya Jared pada septon agung.

“Ya, Yang Mulia,” jawab pria lanjut usia itu.

“Bagus. Laporkan padaku apa pun perkembangan kondisi ayahku. Termasuk jika adikku kemari.”

“Bicara tentang adik Anda, Yang Mulia. Saya menemukan ini,” Sang septon menunjukkan buntelan kecil dari kulit beraroma rempah.

Jared mengambilnya dengan dua jari, mengernyitkan dahi, “Apa ini?”

“Saya rasa itu sebuah jimat. Kurang pas bagi kita sebagai penyembah tujuh dewa mengandalkan nasib pada benda seperti itu,” septon agung berkomentar.

Jared mengamatinya. Selain bodoh, Evan terlalu polos. Pertama, dia tidak tahu kalau septon agung berada di pihak Jared. Kedua, Demi para dewa kau pakai jimat, Ev? Aku tak akan membuat Ayah mati tanpa melihatku naik takhta kecuali kau tidak membawa jantung itu secepatnya. Anak malang…

“Simpan di tempatnya semula. Ini mungkin perbuatan Evan. Dia masih anak-anak,” Jared mengembalikan jimat itu ke tangan septon agung.

“Anda ingin berdoa, Yang Mulia?”

Jared mengulas senyum tipis kemudian mengangguk. Pria berjuluk septon agung itu pergi meninggalkannya seorang diri. Selepas kepergiannya, Jared menatap wajah-wajah simbolis para dewa. Sang Bapa, Sang Ibu, Sang Penjaga, Sang Perawan, Sang Prajurit, Sang Pengasuh dan… Sang Pengantar.

Jared menatap lekat-lekat Sang Pengantar yang berwajah paling keras dan angkuh. Dia yang akan membawa orang-orang mati dan paling jarang dinyanyikan dalam lagu dan puji-pujian. Lantas kenapa manusia menyembahnya? Apa yang diminta dari maut? Ia berputar, pergi meninggalkan kuil agung. Jared tak pernah berdoa lagi semenjak semua mengabaikannya. Kalaupun terpaksa, ia berharap Sang Pengantar tidak membawa salah satu dari mereka pergi sebelum semua keinginannya terlaksana.

Mari melakukan pertukaran yang adil,” kata Evita. Ia menahan lengan Will yang sudah mengambil ancang-ancang untuk bertarung. Kedua penjaganya menurunkan pedang begitu pula lawan mereka. Pertumpahan darah tidak diperlukan di sini. Evita tak mau pengawalnya terluka.

Si jangkung satunya dengan seutas cambuk yang tergulung di tangannya mengamati persona Evita. “My Lady, ya? Kami tidak tertarik dengan tutur manis seorang bangsawan. Kusarankan menurutlah saat nyawamu terancam. Bukan malah membuat penawaran!”

Namun si jangkung dengan bekas luka di pipi mengangkat sebelah tangannya. “Maafkan teman saya yang tak sabaran, My Lady. Apa yang kau tawarkan?”

“Apa yang kalian mau?” Evita mencengkeram erat busurnya.

Seluruh pria bengal itu tersenyum bersamaan. “Kami butuh emas, senjata dan kuda. Oh, kalian punya semuanya,” jawab si jangkung bercodet mewakili yang lain. Kelihatan sekali kalau dia mengambil alih kuasa dari para pengikutnya.

Evita Dain menarik napas berat. Ia berusaha mengontrol ekspresinya tetap tenang. Kedua pengawalnya menunggunya membuat keputusan. Sejenak, Evita menoleh pada Aryanda. Paras gadis itu sekaku batu. Apa yang sedang dipikirkannya? Benar, Evita memang sengaja mengulur waktu supaya Arya bisa melepaskan mantra sihirnya. Tapi, tidak ada hal magis yang terjadi di sekitar mereka.

“Dengan satu syarat. Keluarkan kami dari hutan ini dengan selamat.”

“Memangnya kalian mau kemana?” kali ini si gempal yang bersuara.

“Utara,” jawab Evita jujur. “Kalian akan dapatkan dua kuda, dua senjata dan emas,” imbuhnya.

Pardon me, My Lady. Tapi, kami berempat. Bagaimana dua kuda dan dua senjata cukup untuk kami?” tanya si jangkung dengan setengah mengejek.

“Aku bisa berhitung,” tukas Evita. “Kami juga berempat dan kami butuh kuda, tapi kami hanya punya dua senjata. Artinya kalian akan memiliki semuanya.”

“Busurmu tidak masuk hitungan, Non?” Si kerdil menimpali. Suaranya serak sampai Evita ingin sekali menyodorkan segelas air… ke wajahnya.

“Tidak. Aku membutuhkannya.”

“Jika tujuan kalian ke utara untuk melancong, maka kalian tak butuh senjata,” komentar si jangkung bercodet.

“Yah. Untuk berjaga-jaga dari kalian,” balas Evita. “Kuda kami kuat dan terlatih. Emas kami banyak—kupastikan itu—dan senjata kami bagus. Kalau kalian tidak mau, mari bertarung saja,” Ia bersyukur Greg dan Will tak memakai kuda kerajaan, meskipun Evita ragu para bengal ini bisa membedakan kuda biasa dan kuda istana.

“Kau hendak membidik pakai apa? Kulihat tak ada anak panah di sini,” ejek si jangkung satunya.

Evita mengambil batu kecil. Memasangnya pada senar dan membidik tepat ke tengah jidat si jangkung tadi. Dengan sekali sentakan batu itu meluncur mengenai sasaran. Darah segar melelehi hidung pesek si jangkung. Pemuda itu terkejut bukan main.

Kau!” hardiknya marah sambil mengerjap-ngerja karena pusing. Cambuk di tangannya terjuntai dan siap dilecutkan.

Evita tersenyum remeh. Sudah lama ia ingin memanah orang sungguhan. Berandal seperti mereka pantas mendapatkan peringatan. Kembali melirik Arya, Evita paham sinyal dari sahabatnya itu. Sihirnya tidak berhasil. Lalu menoleh lagi pada si jangkung bercodet, yang lebih mudah diajak berdiskusi, Evita berujar lagi. “Bagaimana?”

Pemuda itu tampak terkesan. “Kalaupun kalian kabur, kalian pasti tersesat. Tapi, kurasa aku tidak rugi mengantar seorang lady yang memesona.” Senyumnya mengembang, membuat kewaspadaan Evita bertambah dua kali lipat.

Teman-teman si jangkung tampak tak setuju. “Sejak kapan kita menjadi penunjuk arah bagi para turis?” Si gempal melengking. Suaranya bergema. Si jangkung bercodet membujuk teman-temannya berdiskusi sejenak.

Aryanda mendekati Evita dan berbisik. “Pemuda jangkung itu kebal,” katanya mengacu pada si jangkung bercodet.

What?” Evita menatapnya tak percaya. “Bagaimana dengan yang lain?”

“Sama saja. Tapi, bukan karena sihirku tak bekerja. Tapi, karena aura si sinting itu.”

“Kau mau bilang kalau presensinya melindungi yang lain?”

Aryanda mengangguk. Kerutan di wajahnya semakin banyak, begitu juga Evita. Greg dan Will beralih ke depan mereka. Will berkata, “Segera naik ke kuda, My Lady. Pergi dari sini, kami akan coba menghalangi mereka.”

“Aku tak akan meninggalkan kalian,” Evita menegaskan, “lagipula tampaknya mereka setuju.”

Keempatnya menoleh pada kumpulan berandal tadi. Si jangkung bercodet mendekat, “Kami setuju, My Lady.”

“Bagaimana kami yakin kalau kalian tidak malah membawa kami ke sarang kalian atau menyesatkan kami?” tanya Aryanda.

Si jangkung mengangkat bahu. “Tergantung sikap kalian. Jika kalian terlihat mau kabur, bisa kami pastikan hal yang lebih buruk akan terjadi.”

Evita tak suka senyum itu. Terlalu percaya diri dan mengintimidasi. Si jangkung bercodet tampaknya memimpin gerombolan itu. Tak ada lagi bantahan dari yang lainnya.

Kelompok Evita tak punya pilihan lain. Mereka harus segera keluar dari Ravenwood. Baiknya lagi, mereka tak perlu berputar arah. Siapa tahu ada kelompok lain yang lebih berbahaya dari keempat berandal ini.

“Kau bisa memastikan tidak ada suku lain akan mengganggu kami?” tuntut Evita.

“Tidak ada, My Lady. Aku berjanji.”

“Bagus. Kami akan serahkan semua penawaran tadi begitu keluar dari sini dengan selamat. Aku janji,” timpal Evita.

Si jangkung bercodet mengulurkan tangan kanannya, meminta bersalaman dengan Evita. Gadis itu menyambutnya dengan enggan. Bagus. Lebih cepat keluar dari sini lebih baik. Tangan si jangkung tebal dan kapalan, namun anehnya hangat. Begitu melepaskan jabat tangan mereka, si jangkung bercodet berdeham.

“Izinkan kami memperkenalkan diri, My Lady. Kami terkenal dengan sebutan Ajax karena mata kami persis elang,” Dia tertawa, seperti habis melontarkan lelucon jenaka. “Yang setengah kerdil itu bernama Per, Terrall si gempal, yang kaupanah tadi Sterling dan namaku Adler. And yours, My Lady?

“Aili,” Evita berdusta, “Dan ini sepupuku Ilyse. Pengawalku Hubert dan Hugo,”

Adler mengangguk puas. “Nah, teman-teman, kita punya tugas mulia untuk mengantar Lady yang memesona bersama sepupu dan para pengawalnya dengan selamat.”

Evita sangat membenci cara Adler tersenyum.

Apa ada hal buruk terjadi sampai kau kemari pagi-pagi buta?” tanya Arryn saat mengantar Evan memasuki ruang keluarga. Di luar masih gelap dan dentang lonceng kuil agung menandakkan bahwa sekarang masih subuh. Arryn buru-buru menyambut Evan saat Pip dengan was-was membangunkannya. Begitu melihat Evan yang setengah menggigil karena kehujanan (hujan terus mengguyur dari kemarin), Arryn langsung menyuruhnya masuk. Ia menarik kursi di dekat perapian sepelan mungkin supaya ibunya tidak terbangun.

Evan diam bagai batu. Rambutnya basah kuyup, pun separuh jubahnya. Airnya menetesi lantai. Arryn menyuruh Pip untuk membawa jubah itu untuk dikeringkan. Bahkan setelah duduk di kursi, Evan belum mau bicara. Pandangannya kosong menatap perapian. Arryn mulai gelisah. Ia menarik kursi untuk duduk di sebelah Evan. “Kau tidak apa-apa? Apa Aahana mengatakan sesuatu padamu, Ev?”

Sang pangeran menyandarkan tubuhnya ke kursi dan mengangguk. Pip datang lagi membawa handuk kering. Arryn menyuruhnya membuatkan teh hangat.

“Apa katanya?” Arryn bertanya lagi setelah Pip berlalu.

“Aku perlu mengonfirmasinya lebih dulu pada adikmu,” jawab Evan. Kini matanya kembali fokus. “Maaf membuatmu bangun sepagi ini. Kita akan berangat besok pagi.”

Arryn mengernyitkan dahi. “Konfirmasi perihal apa?”

“Aku harus punya sumber lain untuk menguatkan kata-kata Aahana. Dan aku perlu secepatnya bertemu Arya. Di mana posisi mereka?”

“Terakhir kali mereka bilang akan memutar kembali melewati Kuhlbert. Arya menyuruh kita menemuinya di sana.”

“Bagaimana dengan Evita? Dia sudah sembuh?”

“Dia baik-baik saja.”

“Bagus,” Evan mengangguk-angguk. Raut wajahnya mulai terlihat santai. “Aku merindukannya, Ary. Kau tahu?”

Sepenggal kalimat itu membuat Arryn sejenak menatap Evan. Ia tertegun beberapa saat sebelum menanggapi, “Ya, aku tahu.” Aku juga. Tapi, Arryn menahan kalimat kedua. Ia teringat peringatan dari Jared… aku tidak tahu apa yang akan terjadi jika gadis itu memilih salah satu di antara kalian. Mungkinkah Evita bisa memilih? Kalau iya, siapa diantara mereka yang akan dipilihnya? Lalu bagaimana hubungan ketiganya kelak? Arryn membisu dengan kepala penuh dugaan.

“Jared mengancamku akan membakar kuil agung jika kita tidak segera pergi,” ujar Evan masam. “Rencana kita malah memudahkannya untuk menindasku!”

Arryn tampak kaget . “Siapa yang membocorkannya?”

Evan mendengus. “Aku tidak tahu. Yang jelas tidak semua penghuni istana ada di pihakku. Jared benar, aku tidak tahu apa-apa.”

Keprihatinan terpancar dari air muka Arryn. Suara retihan kayu di perapian menemani keduanya. Pip kembali datang dengan nampan berisi dua cangkir teh hangat dan dua bongkah roti. Arryn mengucapkan terima kasih padanya. “Tolong mandikan Gale siang nanti. Kami akan pergi jauh besok,” pinta Arryn.

“Anda, M’lord? Hendak pergi kemana?”

“Mengawal pangeran. Hanya itu yang perlu kautahu. Bilang pada Tuan Owen untuk menjaga rumah ini sampai aku kembali,” kata Arryn. Pip terlihat murung sampai Arryn menambahkan, “Aku pasti pulang. Tolong jaga ibuku, Pip.”

“Baik, M’lord,” Pemuda kurus itu kembali ke dapur.

Arryn menyodorkan secangkir untuk Evan. Sang pangeran menyambutnya dengan kikuk. “I’m sorry, Ary,” katanya, “Aku membebanimu lagi.”

“Sudah jadi tugasku, Evan. Kau tidak perlu sungkan,” Arryn mengingatkan.

“Kau yakin tidak salah memilih tuan? Jared mungkin lebih pantas mendapatkanmu.”

“Kau lupa pernah bilang akan menarik sumpahku, Yang Mulia?”

Evan meringis. Kesedihan menggelapkan sinar di seluruh wajahnya. “Aku ingat. Hanya saja aku mulai berkaca diri. Mungkin mengikutiku bukan pilihan tepat bagimu. Kau harusnya hidup bahagia bersama keluargamu kelak.”

“Tunggu di sini,” Arryn berdiri, bergegas menaiki tangga menuju kamarnya. Ia mengambil pedang warisan ayahnya dari lemari. Memisahkan dari sarungnya saat kembali ke hadapan Evan. Bilah pedangnya seolah bersinar dengan cahaya dari perapian. Arryn menekuk lututnya, kedua tangannya bertumpu di atas gagang pedang. Kepalanya menunduk dan mengucapkan sumpah, “Demi Dewa-Dewa yang kusembah—“

“—tunggu,” potong Evan berdiri. “Apa yang kaulakukan?”

“Bersumpah setia padamu,” Arryn mendongak menatapnya.

“Tidak, tidak,” Evan menggeleng, menarik lengan Arryn untuk bangun, “tidak sekarang, Ary.”

Arryn enggan mengangkat tubuhnya. “Kita tidak tahu kapan waktunya lagi, Ev.”

Tidak,” ulang Evan tegas. “Kau pantas mendapat pelantikan yang lebih baik. Tidak sekarang. Tidak di sini.” Bagaimana ia bisa menerima sumpah Arryn dengan suasana hati yang sedang kalut. Sebelum ia menemukan bukti pendukung tentang teori Yang Terikat dan Yang Terkutuk, Evan tak mau mengambil sumpah Arryn. Ia takut sahabatnya berubah pikiran dan terkungkung dalam sumpahnya. Arryn berhak menentukan pilihan dan Evan tak bisa memaksanya. “Tak perlu bersumpah, Ary. Aku tahu kau akan selalu menjadi sahabatku. We will against the world together.”

Tapi, Jared membuatku bersumpah. Arryn tak mengatakannya. Ia bangkit dan kembali menyarungkan pedangnya. “Aku tidak akan berubah pikiran, Ev,” katanya.

Evan tidak menjawab, tapi tersenyum hangat. Tunggu sampai kau harus memilih antara adikmu dan aku. “Aku tahu itu pedang warisan ayahmu dan kau tak mungkin mau pedang yang lain. Tapi, kurasa kau harus memberi nama lain untuknya. Bagaimana jika aku yang memberinya nama saat menarik sumpahmu?”

“Boleh saja. Itu akan menjadi kehormatan besar bagiku,” ujar Arryn sumringah.

Sang pangeran mengangguk. Bagaimana kalau Evita memilih salah satu di antara kita? Apa kau masih bangga menjadi kesatriaku, Ary?

-tbc


Notes:

  • Bab 10? 10? Duh, nggak menyangka bisa nulis cerita ini sampai bab 10. T___T Rencananya TDOS nggak akan lebih dari 20 bab. Rencana, ya… haha
  • Adler. Kemarin-kemarin sedang kepikiran Irene Adler jadilah aku pakai nama itu XD /need more episodes from Sherlock/
  • Eum, bab ini agak turun temponya ya, harap dimaklumi 🙂
  • Terima kasih sudah membaca, semoga nggak bosan main ke sini. ^^
  • See you~

©2017 Miss Candy

8 thoughts on “The Dance of Storms – 10”

  1. Errr… Kdang” aku suka heran sama kelakuan Jared. Licik, tamak dan jahatnya minta ampun, tapi menurutku ada sisi dimana dia bersikap seprti seorang Kakak yg mencemaskan adiknya. Cuma sekedar kamuflase kah??

    Duh sebel, knpa semua rencana Evan justru menguntungkan Jared si. Evan yg malang, posisnya jadi makin sulit aja. T__T
    Yg dimaksud ada tambahan karakter ternyata si muka codet toh :D, kirain aku cewek cadangan buat Evan Or Arryn, klo sewaktu” salah satu dari mereka patah hati.
    Gak sabar nunggu pertemuan mereka.
    Seneng pas Arryn mengucap sumpah untuk Evan, aku gak pengin Arryn sama Evan musuhan titik!!! #maksa

    Kutunggu next chapternya~

    Liked by 1 person

  2. Sekian lama menunggu, akhirnya bisa baca lagi. Cuma yang bikin bertanya-tanya itu tentang Jared dan kenapa Aahana ngebohongin Jared tapi malah ngomong jujur ke Sehun, atau itu cuma tipu daya Aahana aja.
    Pokoknya ditunggu TDoS selanjutnya… ^^

    Liked by 1 person

  3. Wooww. . . si Jared makin sadis. kapan matinya itu org. Lebih licik dri pemikiranku ttg dy di bab2 sebelumnya.
    Dan ternyata smua yg ada di dy adalah mata2, ampe bsa tau detail.
    cuma aq pnasaran dy tau smua dri mana??Aahana kah? tpi seingatku di bab2 kmarin blum ada konfirmasi, atau aku nya yg gak teliti??

    Duhh beraattt, ujiannya gak ada yg muluss. dan aku sempet mulai kepooo knpa akhirnya kmu mau menukar Arya dgn Arryn??
    tpi jujur aq ngarep bgt Arryn -Evita moment, mskipun bukan yg rommance, tpi aku menantikan pertemuan mereka lagi.

    Mbulet dah. aq ampe migrain gegara berkutat ama suguhan konflik yg gak tanggung2, brasa buntu aja jalan mereka. Gak yakin apa bsa brtahan ampe END datang (harusnya author yg puyeng, knapa aq jadi berisik sndiri 😀 )

    Yoi. . gak terasa udah 10 bab dan aq juga ngerasa gak terasa (padahal authornya usaha bgt buat ngebuat ini smpe up)

    Oh ya dek, adakah tema, plot atau konsep yg berubag dri awal buat ini??? ini khan lgi trend bgt ttg sesuatu yg berbau fantasi, kli aja ada inspirasi yg kmu dapet akhir2 ini. . .??? kalaupun iya itu ngaruh kah ke ide awalnya??

    udah itu aja. Bingung mau nyerocos apalgi, krna aq gak jeli klo untuk tema, plot atau alurnya. taunya baca dan mahami isi crita. Maafkan aku yg gak bsa2 neliti hal2 diatas. mklumin yee. aq bukan org yg mahir EYD dan tetek bengek per FF an. jdi reviewku standart aja. .

    sampai ketemu di Bab 11, wkwkwkwk, Insya Allah :-*

    Liked by 1 person

    1. aduh, Jared jangan mati dulu… >>> tidak semua kejadian aku ceritakan secara gamblang kak… hahaha~

      Oh ya dek, adakah tema, plot atau konsep yg berubag dri awal buat ini??? ini khan lgi trend bgt ttg sesuatu yg berbau fantasi, kli aja ada inspirasi yg kmu dapet akhir2 ini. . .??? kalaupun iya itu ngaruh kah ke ide awalnya?? >>> pasti gara” Goblin ahjussi XD nggak kak… plotnya masih sama… End-nya masih sama kkk… kalau aku sedang berbaik hati, maka akhir bahagia bakal menanti mereka (kadang suka kurang konsisten 😀 )

      Review dr kakak nggak pernah standar” aja… aku suka review panjangnya, dan belum ada yang ngalahin itu… 😉

      Makasih kak rin… semoga bab 11 lebih cepat meluncur… 🙂

      Like

Would you mind to give a review? ^^